Senin, 30 Mei 2011

LEGAL PERSONALITY


Legal personality (also artificial personality, juridical personality, and juristic personality) is the characteristic of a non-human entity regarded by law to have the status of a person.

A legal person (Latin: persona ficta), (also artificial person, juridical person, juristic person, and body corporate, also commonly called a vehicle) has a legal name and has rights, protections, privileges, responsibilities, and liabilities under law, just as natural persons (humans) do. The concept of a legal person is a fundamental legal fiction. It is pertinent to the philosophy of law, as is essential to laws affecting a corporation (corporations law) (the law of business associations).

Legal personality allows one or more natural persons to act as a single entity (a composite person) for legal purposes. In many jurisdictions, legal personality allows such composite to be considered under law separately from its individual members or shareholders. They may sue and be sued, enter into contracts, incur debt, and have ownership over property. Entities with legal personality may also be subject to certain legal obligations, such as the payment of tax. An entity with legal personality may shield its shareholders from personal liability.

The concept of legal personality is not absolute. "Piercing the corporate veil" refers to looking at individual human agents involved in a corporate action or decision; this may result in a legal decision in which the rights or duties of a corporation are treated as the rights or liabilities of that corporation's shareholders or directors. Generally, legal persons do not have all the same rights as natural persons - for example, human rights or civil rights (including the right to freedom of speech, although the United States has become an exception in this regard).

The concept of a legal person is now central to Western law in both common law and civil law countries, but it is also found in virtually every legal system.


PERKUMPULAN / PERHIMPUNAN / ORGANISASI (VERENIGING)


Keberadaan lembaga sosial tidak lepas dari adanya nilai dan norma dalam masyarakat. Di mana nilai merupakan sesuatu yang baik, dicita- citakan, dan dianggap penting oleh masyarakat. Oleh karenanya, untuk mewujudkan nilai sosial, masyarakat menciptakan aturan-aturan yang tegas yang disebut norma sosial. Nilai dan norma inilah yang membatasi setiap perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Sekumpulan norma akan membentuk suatu sistem norma. Inilah awalnya lembaga sosial terbentuk. Sekumpulan nilai dan norma yang telah mengalami proses institutionalization menghasilkan lembaga sosial.

Organisasi yang didirikan tentu memiliki sasaran yang ingin dicapai secara maksimal. Oleh karenanya suatu organisasi menentukan sasaran pokok mereka berdasarka kriteria-kriteria organisasi tertentu. Adapun sasaran yang ingin dicapai umumnya menurut J Winardi adalah:
  1. Organisasi berorientasi pada pelayanan (service organizations), yaitu organisasi yang berupaya memberikan pelayanan yang profesional kepada anggotanya maupun pada kliennya. Selain itu siap membantu orang tanpa menuntut pembayaran penuh dari penerima servis.
  2. Organisasi yang berorientasi pada aspek ekonomi (economic organizations), yaitu organisasi yang menyediakan barang dan jasa sebagai imbalan dalam pembayaran dalam bentuk tertentu.
  3. Organisasi yang berorientasi pada aspek religius (religious organizations)
  4. Organisasi-organisasi perlindungan (protective organizations)
  5. Organisasi-organisasi pemerintah (government organizations)
  6. Organisasi-organisasi sosial (social organizations)
Perkumpulan / perhimpunan ialah yang lazim dalam bahasa Belanda disebut vereniging (sebagai lawan kata dari maatschap atau vennootschap) seperti yang diatur dalam KUH Perdata Buku III Bab IX; Stb 1970-64; dan Stb 1939-570, adalah perkumpulan yang tidak termasuk dalam hukum dagang. Baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum.

Adapun tentang Yayasan tidak termasuk dalam pengertian perkumpulan dalam arti sempit ini yang diatur secara khusus menurut Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 dan UU Nomor 28 Tahun 2004. Stichting atau yayasan adalah suatu badan hukum yang berbeda dengan badan hukum perkumpulan ataupun perseroan, oleh karena berkaitan dengan sejumlah kekayaan (asset) yang harus diurus dan digunakan (bagaimana mengurus harta/budel), yang tidak bertujuan untuk membagikan kekayaan dan atau penghasilan kepada pendiri atau pengurusnya dan orang-orang lain.

Ciri-ciri yayasan :
1. ada tujuan (sosial non komersial)
2. tidak ada keanggotaannya;
3. tidak ada hak bagi pengurus untuk mengubah tujuan;
4. modal yang menjadi kekayaan yang dipisahkan untuk pencapaian
dari suatu tujuan.

Adapun tentang Perkumpulan (usaha dagang) merupakan pengertian yang luas meliputi semua persekutuan, koperasi dan perkumpulan saling menanggung, yang meliputi perkumpulan berbadan hukum dan yang tidak berbadan hukum.

Perkumpulan (usaha dagang) yang berbadan hukum :
1. perseroan terbatas;
2. koperasi;
3. perkumpulan saling menanggung.

Perkumpulan (usaha dagang) yang tidak berbadan hukum :
1. persekutuan perdata;
2. persekutuan firma;
3. persekutuan komanditer.

Adapun dalam perkumpulan / perhimpunan memiliki anggota yang meliputi beberapa orang yang hendak mencapai suatu kehendak / tujuan dam bidang non ekonomis (tidak untuk mencari keuntungan) bersepakat untuk mengadakan suatu kerja sama yang bentuk dan caranya diletakan dalam apa yang dinamakan Anggaran Dasar atau Reglemen atau Statuten. Sifat perkumpulan adalah perjanjian yang dituangkan dalam akta pendirian.

Istilah yang sering dijumpai yaitu : Verein (Jerman), Association (Inngris), Union (Prancis), adapun dalam bahasa indonesia, yaitu : Perkumpulan, Perhimpunan, Lembaga, Paguyuban, Perikatan, Ikatan, Persatuan, Kesatuan, Serikat, dan lain-lain.

Tujuan Perkumpulan ini adalah non-ekonomis dan diatur dalam peraturan perundang-undangan, yaitu :
1. KUH Perdata Buku III Bab IX, berjudul Van Zedelijke Lichamen
(Perkumpulan), Pasal 1653 s/d 1655, yang kemudian ditambah
dengan Pasal 1656 s/d 1665;
2. Stb 1870-64 tentang Badan Hukum bagi Perkumpulan
(Rechtspersoonlijkeheid van Verenigingen);
3. Stb 1939-570 bsd 717 tentang Perkumpulan Indonesia
(Inlandsche Vereniging).

Kedudukan badan hukum dari perkumpulan menurut Stb 1870-64 itu diperoleh sesudah ada pengakuan (pengesahan) dari Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan HAM). Pasal 1 berbunyi : "Tiada suatu perkumpulan orang-orang apa pun juga dapat bertindak sebagai badan hukum, selain dari yang didirikan menurut peraturan umum (algemene verordening) dan itu pun jika sudah diakui oleh Gubernur Jenderal (sekarang Menteri Hukum dan HAM), atau oleh pejabat yang ditunjuk.

Dalam rangka pembinaan dan pengawasan maka setiap perkumpulan didaftar pada Kementerian Dalam Negeri.

Staatsblad 1933 – 84 Pasal 11 point 8:
perkumpulan yang tidak didirikan sebagai badan hukum menurut peraturan umum tidak dapat melakukan tindakan-tindakan perdata”.

Bedasarkan pembahasan di atas, maka jelas perbedaan antara Perkumpulan dalam arti sempit dengan Perkumpulan dalam artin luas, serta perbedaannya dengan Yayasan (Stichting).


Rabu, 18 Mei 2011

CONSTITUTIONAL LAW


Constitutional law is a body of law dealing with the distribution and exercise of government power.

Not all nation states have codified constitutions, though all such states have a jus commune, or law of the land, that may consist of a variety of imperative and consensual rules. These may include customary law, conventions, statutory law, judge-made law or international rules and norms, and so on.

Constitutional laws may often be considered second order rulemaking or rules about making rules to exercise power. It governs the relationships between the judiciary, the legislature and the executive with the bodies under its authority. One of the key tasks of constitutions within this context is to indicate hierarchies and relationships of power. For example, in a unitary state, the constitution will vest ultimate authority in one central administration and legislature, and judiciary, though there is often a delegation of power or authority to local or municipal authorities. When a constitution establishes a federal state, it will identify the several levels of government coexisting with exclusive or shared areas of jurisdiction over lawmaking, application and enforcement.

Another main function of constitutions may be to describe the procedure by which parliaments may legislate. For instance, special majorities may be required to alter the constitution. In bicameral legislatures, there may be a process laid out for second or third readings of bills before a new law can enter into force. Alternatively, there may further be requirements for maximum terms that a government can keep power before holding an election.

The doctrine of the rule of law dictates that government must be conducted according to law.

Dicey identified three essential elements of the British Constitution which were indicative of the rule of law:

  1. Absence of arbitrary power;
  2. Equality before the law;
  3. The Constitution is a result of the ordinary law of the land.